Wednesday, February 17, 2010

Feodalisme : Akar Suburnya Praktek Korupsi di Indonesia

Oleh : Achmad Fahmi
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM
Banyak kasus diindonesia yang berhubungan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Sudah banyak kajian dan cara-cara yang dilakukan pemerintah untuk memberantas korupsi, mulai dari perombakan system, pembentukan lembaga-lembaga penegak hokum yang jumlahnya tak hanya satu mulai dari kepolisian jaksa agung, dan yang terbaru KPK (korupsi pemberantasan korupsi). Dan semua lmbaga tersebut bisa dibilang kurang efektif dalam memberantasnya seolah-olah korupsi memang sudah mengakar dengan masyarakat Indonesia. Semuanya tidak menggunakan cara yang preventif. Jika di lihat dari segi budaya khususnya dalam kaca mata sejarah korupsi memang sudah mengakar dengan kehidupan orang Indonesia akar dari permasalahan tersebut adalah feodalisme yang sudah berjalan ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka yaitu sudah berjalan sejak zaman kerajaan jawa.
Feodalisme berasal dari kata feudus yang berarti tanah, isme, pemikiran atau aliran. Atau yang dapat disimpulkan bahwa feadalisme sangat berkaitan erat dengan kekuasaan terhadap tanah. Feodalisme di Indonesia tumbuh dengan seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan khususnya di pulau jawa. Raja adalah penguasa sekaligus pemilik semua tanah di kerajaan dengan mutlak, raja berhak menggunakan tanah baik untuk kebutuhannya sendiri, maupun diberikan sementara kepada sentono dan narapraja sebagai siti atau tanah gaduhan.
Menurut fungsinya tanah-tanah di kasunanan dan mangkunegaran dibedakan menjadi beberapa bagian, antara lain : pertama, Bumi narawita atau tanah-tanah yang menghasilkan sesuatu yang ditentukan dan diperlukan oleh raja. Tanah-tanah narawitapun dibagi menjadi beberapa bagian lagi : a) bumi pamejegan, yang menghasilkan pajak uang; b) bumi pangrembe, yaitu tanah yang ditanami padi untuk keperluan istana; dan c) bumi gladak, yaitu tanah-tanah yang penduduknya diberi tugas transportasi, misalnya pada waktu pesta-pesta perkawinan, kelahiran, kematian dan pesta-pesta yang lainnya. Kedua, bumi lungguh atau tanah apanag yaitu gaduhan yang diberikan pada sentono dan narapraja sebagai gaji. Tanah itu diberikan kepada para sentono selama mereka mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan raja dan narapraja selama mereka masih menduduki jabatan dalam pemerintahan. Narapraja dan sentono menunjuk patuh menangani tanah lungguh.

Dalam kenyataannya, patuh mengalami hambatan dalam menangani tanahh lunguhnya. Permasalahan itu muncul karena patuh tinggal di kuthanagara ( ibukota kerajaan), sedangkan tanah lungguh berada di negaragung ( wilayah diluar ibukota kerajaan). Karena itu, patuh menunjuk bekel untuk mengorganisasi seluruh tanahnya agar menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan kepentingan lungguh. Dengan demikian tanggung jawab pengelolaan tanah lungguh berada di tangan bekel dengan dibantu oleh petani-petani di kabekelannya. Kedudukan petani adalah sebagai penggarap dalam arti yang sesungguhnya, dan hasil panen dari petani dua (maro) dengan hasil : 2/5 bagian untuk patuh ; 2/5 bagian untuk petani; 1/5 bagian untuk bekel. Dalam posisi ini petani menempati posisi terlemah diidentifikasi dari pembayaran petani oleh petani baik dalam bentuk uang, barang maupun tenaga kerja. Karena pada dasarnya keberadaan petani sangat dibutuhkan pada jalur vertical maupun horizontal. Jalur horizontal yang dimaksud disini adalah petani sebagai pembangun sekaligus melayani desa, sedangakan jalur vertical sisini dimaksudkan sebagai kerja wajib untuk patuh, karena jika petani tidak loyal kepada patuh, posisi kebutuhan kerajaan tidak tercukupi sehingga memungkinkan lepasnya jabatan sebagai patuh. Berbagai pajak dan kerja wajib dijalani oleh petani yang harus tertatih-tatih mengangkat kebutuhan tuannya( bekel). Bekel melakukan penarikan pajak dikarenakan memperkaya diri karena kedudukan mereka sangat rapuh. Alasannya karena banyak diantara mereka dipecat, karena hanya diperlukan untuk memperoleh uang bekti (sejenis uang penghormatan) yang harus dibayarkan kepada pengusa setempat pada saat pengangkatan. Kadang-kadang kabekelan yang baru, dilelang dan diserahkan kepada penawar tertinggi. Dan semakin banyak bekel yang ditunjuk semakin banyak keuntungan yang diperoleh pemegang tanah lungguh.
Dari uraian diatas menandakan bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme lahir dari praktek feodalisme kerajaan sebelum Indonesia lahir. Mulai dari pemegang tanah lungguh hanya bisa diperebutkan oleh segelintir orang saja yang dekat dengan raja, dan praktek pengangkatan bekel dilakukan dengan praktek lelang yang mengandalkan banyaknya uang yang akan diberikan kepada pemegang tanah lungguh. Dan yang selalu di rugikan adalah petani meraka harus bekerja dan menyetor uang pajak pada bekel untuk keuntungan bekel pribadi karena ongkos menjadi bekel tidaklah sedikit. Hari ini praktek itu masih terus berjalan seorang pejabat yang ingin mendapatkan posisi haruslah dekat dengan penguasa, dan hal itu tidak berhenti pada tahap itu saja melainkan terus berjalan pada tahap dibawahnya sampai pada tahap terendah. Ujungnya adalah rakyat yang dirugikan karena mereka telah membayar kewajban sebagai warga Negara dengan membayar pajak, tetapi ketika sudah berada pada tingkat pemerintah APBN maupun APBD yang di bersumber dari pajak banyak di selewengakan pejabat Negara.
Praktek korupsi memang berakar dari budaya feodalisme yang sudah sejak lama di lakukan bangsa ini sebelum merdeka, praktek ini sudah membudaya dalam masyarakat Indonesia oelh karena itu untuk mengatasinya tidak cukup dengan tindakan yang bersifat sementara atau hanya sekedar hukuman yang bebas dari nilai budaya Indonesia. Di perlukan suatu strategi budaya untuk mengubah budaya ini, tentunya mengubah suatu budaya karena unsure-unsur budaya memang sulit untuk dirubah. Salah satu dari strategi budaya ini adalah dimulai dari penguatan salah satu unsur budaya yaitu unsur system religi dalam satu kebudayaan, karena unsure inilah yang paling utama dan mempengaruhi unsure-unsur yang lainnya.

0 komentar:

Post a Comment