- Al-Mawaddah fil Qurba, Sayidina Ali ibn Abi Thalib menjelaskannya sebagai “ittashilu baini wa bainikum”, padanan kata dalam bahasa Indonesia yang mendekati makna ini adalah “Jembatan Rasa”. Lalu bagaimana jembatan rasa ini terbangun? Pada siapa seharusnya terhubung?Air mata Nabi Muhammad yang semula terbendung akhirnya mengalir deras di pipinya, Ibrahim anak lelaki terakhirnya akhirnya meninggal dunia di usia yang masih sangat belia, 16 bulan di atas pangkuannya. Ibrahim menyusul anak laki-laki nabi terdahulu Qasim dan Abdullah yang juga meninggal pada usia yang belia.Nabi berkata kepada Ibrahim yang sudah tak bernyawa dengan suara perlahan:"Hai Ibrahim, jika ini bukan perintah yang benar dan janji yang betul, dan sesungguhnya kami yang kemudian akan menyusul orang yang mendahului kami, niscaya dukacita kami terhadap kematian engkau lebih dari ini"Nabi terdiam sejenak, kemudian melanjutkan perkataannya. "Air mata yang berlinang dan hati yang berduka cita ini tidak berkata melainkan apa yang diridhai Rabb kami. sungguh kami sangat berduka cita sebab berpisah denganmu, Ya Ibrahim"karena kedukaan dan tangis Nabi terlihat oleh sebagian sahabat nabi yang hadir, sebagian dari mereka bertanya pada Nabi, "Duhai Nabi, mengapa engkau menangis, bukankah engkau pernah melarang kami menangisi orang mati?" mendengar perkataan beberapa sahabat, Nabi menjawab:"aku tidak melarang berduka cita, tetapi yang pernah kularang itu hanya mengangkat suara dengan menangis. apa yang kau lihat padaku adalah bekas apa yang terkandung di dalam hati dari rasa cinta dan sayang. Barang siapa yang tidak menampakkan kasih sayangnya, maka orang lain tidak akan menampakkan kasih sayang kepadanya"Jembatan rasa yang terbangun antara Ayah dan anak adalah bagian dari fitrah, ketika keduanya berpisah, ada rindu pada sebuah pertemuan. Perpisahan dengan kematian pun tak meruntuhkan jembatan rasa antara keduanya.
- ***
- Tsauban Maula salah satu dari pembantu nabi, hari ini kita mengenalnya sebagai perawi yang meriwayatkan beberapa hadis shahih. Suatu hari Tsauban tampak murung dan bersedih. Wajahnya murung membayangkan tentang masa depannya. Rasulullah mendekat dan bertanya, “kenapa Tsauban?”. Tsauban menjawab, “Jika engkau wafat nanti, duhai nabi. engkau akan diangkat ke surga oleh yg Mahatinggi kemudian engkau akan dikumpulkan dengan setiap para Nabi. sementara aku, hanya pembantu sederhanamu. mungkinkah kita bertemu lagi?”. Tsauban dan Nabi masih sama-sama di dunia, namun dia rindukan pada kelangenggan menjaga jembatan rasa, terjaga sampai keduanya bertemu kembali di Jannah. Tsauban pun termasuk yang mendapatkan doa dari orang yang menjadi ujung yang lain dari jembatan rasa yang dibuatnya agar kelak di Jannah bertemu dan berkumpul bersama Nabi.
- ***
Tubuh dingin dan ketakutan tercetak jelas pada wajah nabi pada awal turunnya wahyu, sesaat setelah Sayyidah Khadijah menyelimutinya, Nabi sedikit tenang dan berujar,
“sungguh aku takut tentang hal yang akan terjadi pada diriku”“Tidak, sekali lagi tidak, demi Allah, Allah tidak akan akan menghinakan engkau selamanya, karena engkau penyambung silaturahim, membantu yang memerlukan, meringankan orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan menolong untuk kebenaran” Jawaban Sayyidah Khadijah menenangkan.Dua puluh satu tahun kemudian, delapan tahun setelah Nabi meninggalkan Makkah untuk hijrah ke madinah, sepuluh tahun setelah Khadijah wafat. Nabi dan ummat islam membuka kota Makkah. Setelah Fathul Makkah, Nabi pergi ke suatu tempat, sahabat yang melihat bertanya "Hendak kemana engkau Ya Rasulullah? “" Membangun tenda di Hujun"Taukah apa itu Hujun? Hujun adalah tempat dimakamkannya Sayyidah Khadijah. "shadaqti ya Khadijah | engkau benar Khadijah"Kenapa Nabi berucap demikian? Hari itu Allah membuktikan ucapan tegar dari Khadijah yang menguatkan suaminya dua puluh satu tahun berlalu bahwa Allah tidak akan menghinakannya. Hari ini satu Makkah berislam dan tiada yang hinakan nabi seperti yang ditakutkan saat pertama kali wahyu turun. Nabi benarkan perkataan Khadijah.Jembatan Rasa macam apa yang terbangun antara Khadijah dan Nabi saw? Jembatan rasa yang tetap kokoh meski keadaan yang tak mengenakan terus berjalan.Jembatan Rasa macam apa yang terbangun antara Khadijah dan nabi saw? Jembatan rasa yang masih kokoh meski keduanya telah berpisah dunia.Jika sudah benar pada siapa jembatan rasa itu dibangun, maka membongkarnya kembali bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia akan terawat dan melewati batas zaman dan waktu. Sebuah Jembatan yang dibangun dengan keimanan yang menguatkan fitrah yang abadi, tak berakhir, dan tak bertepi.. Maka bahagilah mereka yang membangun jembatan rasa yang berujung pada puncak kebahagiaan abadi hingga Jannah.- Al-Mawaddah fil Qurba, Sayidina Ali ibn Abi Thalib menjelaskannya sebagai “ittashilu baini wa bainikum”, padanan kata dalam bahasa Indonesia yang mendekati makna ini adalah “Jembatan Rasa”. Lalu bagaimana jembatan rasa ini terbangun? Pada siapa seharusnya terhubung?
060717
@fahmi.basyaiban
0 komentar:
Post a Comment