" kamu sehat-sehat saja kan? Aku tiba tiba mengkhawatirkan dirimu, soalnya cuaca lagi ga baik dan banyak orang yang sakit. Aku di sini sehat sehat saja, aku ngabarin ini biar kamu *tidak khawatir* (pakai bold). kabari Aku terus, dan jgn lupa makan malam."
Dialog di atas bukanlah kalimat yang terlontar dari seorang suami kepada istrinya, melainkan penggalan kalimat seorang laki-laki yang sedang "sepik-sepik" pada seorang wanita. Normal? Mungkin bagi sebagai orang dianggap normal. Namun anda mungkin terkejut jika mengetahui yang mengatakan demikian adalah seorang yang mengklaim dirinya seorang aktivis dakwah. Lebih terkejut lagi, yang bersangkutan adalah (oknum) aktivitis di sebuah lembaga yang seharusnya menjunjung adab bermuamalah dan menjaga kehormatan wanita. Pun yang disasar sepik-sepikannya adalah seorang muslimah yang selama ini berusaha menjaga dirinya sedemikian rupa.
Rangkaian sepik-sepik ini hadir setelah yang bersangkutan mengungkapkan dirinya berniat untuk menikahi sang muslimah. Lalu apa bedanya antara antara remaja yang sedang pubertas dengan oknum aktivis ini? Ga ada beda.. Sama-sama alay dan norak. Noraknya malah double, satu dia sudah tau bahwa hal tersebut tak patut dan tak beradab tapi tetap melakukannya. Norak berikutnya, dia tau bahwa yang di-sepik adalah orang yang juga tahu bahwa hal itu tak patut.
in my savage opinion... "Cowok yg mengajak nikah dengan sepik sepik adalah cowok yg harus dan sangat layak ditolak.
Karena bisa saja dia melakukan hal yg sama ke wanita lain."
Jujur ini bukan pertama kalinya saya menjumpai fenomena demikian. Beberapa malah kawan saya sendiri ketika di kampus. Beberapa berakhir tidak jadi menikah, dan sebagian lainnya berhasil sampai menikah.
Lalu bagaimana dengan tidak berhasil menikah? Hancur hati dan meninggalkan beban psikologis yang mengangga terutama di pihak wanita. Beruntung bagi mereka yang memiliki kemampuan recovery diri yang baik, mereka tidak akan berlarut dalam kesedihan yang ga mengenakan. Namun ga menutup kemungkinan hal yg sama juga terjadi pada laki-laki. Sebagai contoh, salah satu teman di Jogja yg juga seorang psikolog muda, bulan ini dia sedang menangani seorang pemuda yg mencoba melakukan bunuh diri dengan menenggak baigon. Apa sebab? Ditinggal pacarnya nikah.
Alih-alih kebahagiaan yang ingin didapat, yang ada amalah menghancurkan diri sendiri dan orang yang (seolah) dicintai.
In my savage opinion (again) "Cowok yang mendekati wanita untuk diajak nikah dengan sepik-sepik adalah cowok yang merendahkan kehormatan diri wanita"
Bagi mereka yang mengupayakan pernikahan dengan cara terhormat, meniatkan untuk ibadah, dan menjaga rasa agar tetap berpijak pada ketundukan ketaqwaan pada Allah, namun berakhir dengan tidak menikah saja bisa menimbulkan beban hati, lalu bagaimana dengan mereka yang mengumbar sepik sepik seolah hati berbunga bunga dan dunia serasa milik berdua, namun akhirnya tidak jadi menikah?
Sebagai contoh lagi, jika pernah dolan ke Yayasan Dzikrul Ghafilin di Wonosobo yang khusus mengurusi orang orang dengan kelainan jiwa, di situ 80% dari 150 orang penghuninya adalah mereka yang bermasalah dengan persoalan cinta.
Menikah adalah sesuatu yang sakral dan bisa mendatangkan keberkahan jika memang diniatkan sepenuhnya untuk ibadah pada Allah dan mengikuti sunnah Nabi. Ia juga cara menjaga kehormatan diri, menyatukan dua keluarga besar, dan upaya melanjutkan keturunan. Ketika hal tersebut tidak dijemput secara terhormat dan dengan cara terhormat pula. Lalu bagaimana itu semua bisa mendatangkan keberkahan?
Tabik,
21 05 2017
0 komentar:
Post a Comment