Dua buku hasil kurasi untuk sambungkan dan lanjutkan gagasan tokoh besar Indonesia itu sampai di tangan saya dua bulan terakhir. Buku pertama adalah kumpulan tulisan dan pemikiran Hoesin Bafagieh, rekan Abdurrahman Baswedan saat dirikan dan hidupkan Persatuan Arab Indonesia yang kemudian berubah nama Menjadi Partai Arab Indonesia. Buku kedua adalah kumpulan tulisan Buya HAMKA yang dihimpun dari tulisan beliau yang tersebar di beberapa media dalam kurun 1954-1964.
Dua buku ini memiliki hubungan satu sama lain, karena HAMKA dan Hosein Bafagieh sama-sama membenarkan ide ide pembaharuan yang dibawa oleh Sayyid Jamaluddin al-Afgani, Syaikh Muhammad Abduh, dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Pun ada tulisan HAMKA yang secara khusus membahas tentang dinamika komunitas Muwallad Arab Hadrami Indonesia. Tentang sejarah pecahnya komunitas Arab Indonesia menjadi dua kutub yang berseberangan itu menjadi hal yang tidak terhindarkan antara Jam’iyyah al-Irsyad al-Arabiyah (menghimpun sebagian besar keturunan Arab dari strata Masyaikh) dan Rabitah ‘Alawiyah (menghimpun sebagian besar keturunan Arab dari strata Sayyid/‘Alawiy). Belum lagi masalah komunitas Arab ini masih memiliki problem identitas jinsiyah sebagai Hadrami (Menganggap diri berkewarganegaraan Hadrami-Yamani), hidup eksklusif, menganggap diri lebih unggul dibanding yang lain, debat panjang berkutat pada masalah khilafiyah furu’iyah yang menghabiskan energi besar, dan hal lainnya yang menyebabkan dua kelompok ini tak bisa ishlah satu sama lain.
Sampai kemudian hadirlah komunitas kecil pemuda peranakan Arab antara lain: AR Baswedan, Hoesin Bafagieh, dan lainnya; mencoba ijtihad baru untuk membangunkan Jamaah Arab Indonesia untuk membuka lembar baru dan menyerukan persatuan Arab Indonesia dengan sumpah pemuda Arab Indonesia. Sumpah ini menegaskan soal Jinsiyah jamaah Arab yang tinggal di Indonesia adalah Orang Indonesia dan bertanah air Indonesia, tidak boleh ada lagi klaim bahwa “nahnu Hadramiyyun”, serta menegaskan bahwa komunitas Arab Indonesia harus memenuhi kewajiban terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kemunculan Persatuan Arab Indonesia ini diapresiasi oleh Hamka sebagai upaya menyudahi konflik panjang dan terwariskan di antara Masyaikh dan Alawy oleh generasi tua di masing-masing kelompok.
AR Baswedan yang besar di Jam'iyah al-Irsyad dan Hoesin Bafagieh yang besar di lingkungan Rabithah Alawiyah adalah dua contoh nyata bahwa perselisihan bisa ditutup, konflik warisan bisa ditepikan, perbedaan bisa dibicarakan dengan tetap selain menghargai satu zama lain, serta bisa bersatu dalam banyak hal yang bisa disepakati bersama. Hoesin Bafagieh dengan pena tulisannya yang tajam menyampaikan kritik internal pada komunitas Arab untuk membangunkannya, menyerukan persatuan, dan mengajak komunitas Arab untuk turun gelanggang dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Dalam perjalanannya menyebarkan dan membesarkan PAI, tentu tidak otomatis disetujui dan didukung oleh semua jamaah Arab di Indonesia. Penolakan dan perlawanan pada ide persatuan Arab Indonesia juga bermunculan, PAI harus berhadapan dengan golongan tua.
Sama seperti Hoesin Bafagieh, HAMKA melakukan hal yang sama sebagai pengusung "pembaharuan". Meski sampaikan kritik terhadap ta'ashshub dan taqlid buta, tidak serta merta jadikan dirinya sebagai tukang vonis. HAMKA serukan panggilan bersatu sembari usahakan upaya obati penyakit ummat.
Buah pikir dua tokoh di atas telah lama terserak dan tersebar di media cetak lawas tanpa ada yang mengumpulkan, padahal buah pikir keduanya masih sangat relevan sampai hari ini. Terima kasih pada Nabiel A. Karim Hayaze atas usahanya mengkurasi dan mengumpulkan buah pikir Hoesin Bafagieh. Terima kasih juga pada pak Yusuf Maulana yang sudah mengumpulkan, mengkurasi, dan membahasakan ulang tulisan HAMKA hingga lebih mudah untuk dipahami.
Pada Jamaah Arab Indonesia yang kembali terjebak pada konflik lama antara Masyaikh dan Sayyid, kiranya perlu membaca buah pikir Hosein Bafagieh agar bisa tengok kembali bahwa persatuan jamaah Arab Indonesia itu pernah ada dan bisa diusahakan kembali.
Pada pembawa ide pembaharu Islam dan penganut Islam tradisional, kiranya bisa baca kembali karya HAMKA bahwa banyak titik temu dan banyak hal yang bisa disepakati bersama untuk wujudkan persatuan.
Tabik,
Semarang, 11 01 2018
@fahmi.basyaiban
0 komentar:
Post a Comment