Sunday, March 1, 2020

MEMBAKAR DUPA



Dupa/bukhur menjadi hal yang familiar sejak kecil bagi saya, ibu kami sering membakarnya di hari jumat, baunya menguar memenuhi ruangan. Aroma rumah seketika berubah menjadi aroma kayu oud dengan campuran fragrance lain dari minyak wangi yang dicampur sedemikian rupa. Kami punya tempat langganan di dekat rumah keluarga ibu di Pekalongan yang dibuat dengan racikan pemilik tokonya sendiri.
Meski sama-sama fragrance yang penggunaannya dibakar, bukhur sedikit berbeda dengan kemenyan yang sering diidentikkan berhubungan dengan hal-hal mistis. Bukhur berbahan utama kayu oud, ada juga yang memakai sandal wood, sedangkan kemenyan dibuat dari getah sadapan pohon kemenyan atau Boswellia.

Membakar bukhur adalah salah satu dari sekian kultur komunitas peranakan Arab Hadrami yang masih tersisa di Indonesia dan terasimilasi. Ia dibakar di hari jumat, saat menyambut tamu, saat momen keagamaan, dan pada acara keluarga yang dianggap penting. Momen pernikahan biasanya dihiasi bakaran bukhur yang membuat wangi seluruh penjuru rumah. Selain menghadirkan wangi yang khas, suasana ruangan pun berubah menjadi menurunkan emosi dan menjadi menenangkan. Mungkin semacam jadi aroma terapi, namun itu semua juga bergantung bagaimana bukhur diracik.

Pun bukhur bisa jadi penanda seseorang teranggap penting untuk disambut atau diterima sebagai anggota keluarga baru. Pun bisa jadi kenangan, heh? Ya kayak di lagunya payung teduh, "kenangan menjelma dupa, harumnya merasuk ke mana-mana menjelma hela rindu yang selalu muda"

Tabik,
Semarang, 16 Jan 20
@fahmi.basyaiban

0 komentar:

Post a Comment