Friday, July 27, 2018

PERTANYAAN "KAPAN" [Part 1]


"Kapan nikahnya?"
"Udah ada calonnya?"
" Lulus sudah, kerja sudah, tabungan sudah.. kurang apa lagi?"
" متي زاوج؟" "Calon Muzawij ini.." Pertanyaan serupa bukanlah mitos di hari raya, melainkan sebuah keniscayaan yang diarahkan pada lajang yang dipandang sudah cukup siap secara dzahir. Beberapa orang bisa dengan mudah menjawabnya dengan candaan, tapi tak sedikit pula yang memendam perasaan kesal karena pertanyaan sama berulang setiap tahun.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk membenarkan bahwa melajang itu lebih baik daripada menikah, namun hanya ingin sedikit memberi pandangan, perlu kehati-hatian sebelum melontarkan pertanyaan pertanyaan tersebut karena bisa jadi, tekanan sosial seperti itu menjadikan orang mengambil keputusan buru-buru menikah hanya agar terbebas dari "serangan" pertanyaan "kapan?". Sedangkan pernikahan yang demikian memiliki resiko bubar di tengah jalan yang begitu besar. Bubarnya sebuah institusi pernikahan itu melahirkan sesuatu yang punya implikasi sosial yang tidak semua orang kuat dengan status janda atau duda di umur yg terbilang muda.

Sebutlah Sussana (bukan nama sebenarnya), salah satu sahabat saya, umurnya kurang dari 30 tahun. Butuh waktu recovery lebiy dari satu tahun untuk menguatkan diri dengan status barunya sebagai janda beranak satu karena rumah tangganya tidak bisa dipertahankan. Berat? Iya, banget.. circlenya yang dulu bertanya "kapan?" mendadak diam dan tak sedikitpun punya keberanian untuk sekedar menyapa dan bertanya kabar. Ia harus mengambil peran menjadi ayah dan ibu dalam satu kali waktu, butuh dari sekedar sabar dan kuat hati untuk menghadapinya.. Sebut lagi Talia, seorang muslimah yang aktif dalam sebuah jamaah dakwah. Diperantarai pengurus jamaahnya untuk segera menikah, prosesnya terlalu dicepat-cepatkan bermodal tsiqoh penuh dengan jamaahnya. Proses meminta restu hanya sebatas formalitas, karena orang tua secara tidak langsung dipaksa agar segera memberi restu. Firasat tidak baik muncul dari hati orang tuanya, namun semua ditepis karena sudah kadung ada rombongan keluarga pria yang datang ke rumah untuk nembung


Pernikahan berlangsung, namun tak lebih dari dua bulan, Talia berubah status dari istri seseorang menjadi janda dengan umur perkawinan seumur jagung. Ada ketidakjujuran dari perantara perihal pengantin pria yang menjadikan perceraian tidak terhindarkan. Pernikahannya bubar, ujian lebih berat selanjutnya datang; setelah selesai bercerai ternyata dia sudah hamil karena telah bercampur dengan suaminya. Masa kehamilan harus dilalui saat dia sudah berstatus janda. 
Lalu apa kabar orang yang bertanya "kapan?". Entahlah, mereka tidak kunjung datang hanya untuk menegur sapa atau sekedar memberi empati karena sebelumnya ada campur tangan mereka hingga ujian itu hadir pada dirinya.
Berat? Berat buanget.. entah berapa liter air mata yang keluar; dari dirinya, ibunya, neneknya, dan keluarganya meratapi nasib pernikahannya karena keputusan yang "dicepat-cepatkan". Tidak semua orang memiliki kondisi yang sama satu sama lain soal kesiapan menikah. Ada yang sudah mencoba mengikhtiarkan berkali-kali, namun Allah belum takdirkan. Pun ada yang dapat bertemu jodoh dengan proses yang singkat, cepat, dan membahagiakan. 
Jodoh itu urusan yang misterius, harus ada campur tangan Penguasa Pemilik Jiwa manusia untuk saling mencocokkan hati antara wanita, laki-laki, dan kedua keluarganya secara bersamaan. Menjaga keberhakan prosesnya bisa dimulai dengan hal sederhana; kehati-hatian bertanya "kapan".


Tabik, 
Semarang 28 06 2018
@fahmi.basyaiban
___
Ket. Gambar: 3D Anamorphic Illusion - TutoDraw

0 komentar:

Post a Comment