Bagi muda-mudi kisaran
umur menjelang tiga puluh atau di awal tiga puluh, tekanan sosial untuk segera memiliki
pasangan akan deras datang tanpa bilang-bilang. Karena menikah dianggap dianggap
sebagai norma sosial yang harus dipatuhi dan kadang diikuti dengan pembenaran
dalil agama, maka orang yang memilih menunda pernikahannya atau hanya karena tak
kunjung dapat pasangan; mereka jadi objek penghakiman society pada banyak suku dan
etnis di Indonesia.
Pada banyak
keadaan, beberapa orang mengalami insecure terhadap dirinya karena tidak
kunjung menikah. Tekanan sosial juga menekan kesehatan mental-nya karena stigma
buruk yang datang berulang. Pada banyak kasus, stigma yang menekan mental justru
datang dari keluarga terdekat. Orang yang semula merasa baik-baik saja dengan keadaan
dirinya bisa berubah cepat menjadi insecure.
Insecure diri
perihal jodoh bisa dialami laki maupun perempuan dengan bentuk yang berbeda.
Namun tekanan soal jodoh yang membuat insecure pada perempuan ketimbang
laki-laki itu lebih sering banyak terjadi. Mengingat dominasi budaya patriatkis
yang kuat dalam memandang perempuan, alasan medis tentang perubahan hormone dan
kesuburan pada perempuan setelah umur tiga puluhan, dan alasan sosial yang
mengiringinya.
Insecure yang hadir pada perempuan, dari keterangan
beberapa orang antara lain: “aku ga cantik”, “aku gemuk, ga ada yang mau sama
aku”, “bentuk mukaku aneh”, “umurku sudah tua”, “aku punya sakit”, “aku terlalu
mandiri dan independent sebagai wanita”, dan banyak hal yang membuat insecure
lainnya.
Sementara itu pada laki-laki insecure soal jodoh
lebih cenderung soal hal-hal yang bersifat finansial, meski insecure soal hal-hal
fisik juga banyak muncul namun tak sebanyak pada perempuan.
Semua insecure di atas menjadikan kecemasan
berlebih terhadap banyak hal dan mengurangi kebahagiaan dan penerimaan terhadap
diri sendiri. Lalu bagaimana untuk menghilangkan itu semua? Jawabnya: tidak
bisa dihilangkan.
Mari bahas sebuah cerita untuk lebih
memudahkan, cerita dari teman dekat dan beberap orang tentang dealing with insecure
soal jodoh, jalan ceritanya hampir sama jadi cukup satu yang dijadikan contoh. Sebutlah
Uching (Pr) dan Linciw (Lk), Uching insecure terhadap beberapa hal dalam dirinya,
sebelum memutuskan hubungan lebih serius, dia memutuskan untuk menyampaikan hal
yang membuat dia khawatir.
“aku ini punya bulu/atau rambut kulit yang
lebat dibanding perempuan lain. Kamu ga apa?”
“aku ini punya background keluarga yang
tidak ideal seperti yang sudah pernah kuceritakan, kamu ga apa?”
Respon dari calon pasangannya, “hal-hal pokok
yang menjadi tujuan nikah sudah terpenuhi pada dirimu, selebihnya aku menerima segala
yang sempurna dan ketidaksempurnaan yang ada pada dirimu”
Hal yang membuat insecure soal jodoh
terhadap calon pasangan, ketika diterima sebagai sebuah realitas, mengakuinya
sebagai hal yang harus dihadapi, dan menyampaikannya pada orang yang tepat; ternyata
tidak menjadi sebuah masalah yang besar karena akan selalu ada penerimaan jika bertemu
pada orang yang tepat. Soal semesta mendukung atau tidak sampai akad, menjadi
hak prerogative Allah. Yang memulai dengan baik-baik dan terlihat cocokpun, bisa
berpisah karena memang takdir tidak tertulis untuknya.
Untuk orang yang insecure kemudian merasa
tertekan dan melakukan sesuatu yang mereduksi kebahagiannya, please stop it. Kebahagiaan
itu datang diawali dari penerimaan terhadap diri sendiri. Menerima sesuatu yang
teranggap kurang pada diri sendiri adalah tindakan awal yang akan mendatangkan
kebahagiaan lebih besar berikutnya.
Tabik, Semarang 31/12/2019
@fahmi.basyaiban
0 komentar:
Post a Comment