Monday, September 3, 2018

MATRESCENCE [PART I]


Transisi dari seorang wanita yang bisa melakukan banyak hal sebelumnya kemudian memasuki fase motherhood itu tidak mudah bagi banyak wanita. Ini seperti masa transisi dari anak-anak ke fase orang dewasa yang menyebabkan banyak hormon aktif, kulit jadi breakout dengan banyak jerawat, mood swing, dan banyak hal lain yang dialami oleh remaja.
Setelah kelahiran bayinya, banyak perempuan berpikiran mereka akan secara natural bisa mengurus bayinya secara baik, melalukan hal secara smooth tanpa ada drama. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, ketakuatan, rasa kesepian, dan merasa tidak sehat; muncul dan membayangi pikirannya.
Saya berdiskusi dengan salah satu teman yang sudah pernah melewati hal demikian, kemudian mendiskusikan salah satu teman kami yang sedang dalam keadaan ini. Apakah ini normal? Bagaimana menghadapinya dengan lembut tanpa banyak drama?
Akhirnya dia bercerita tentang pengalamannya menghadapi transisi menjadi seorang ibu. Sebagai gambaran dia lahir SC, seminggu setelah SC suaminya dinas ke luar negeri, dia masih berstatus sebagai mahasiswi di perantauan, dua minggu kemudian dia harus UTS di program pasca sarjananya, dan ada masalah dengan hormon dalam tubuhnya sehingga produksi ASI-nya tidak lancar.
Sebelum lanjut ke bagian pengalaman dia, saya juga mencari beberapa sumber yang membahas fenomena motherhood transition. Kemudian ketemulah dengan istilah Matrescence, sama seperti istilah adolscence (transisi fisik dan psikis pada masa remaja). Matrescence secara sederhana bisa diartikan masa transisi fisik dan psikis pada wanita yang menjadi ibu. Secara fisik banyak hormon dalam tubuh yang berubah, yang menjadikan tubuhnya untuk siap menjadi seorang ibu. Secara psikis yang bersangkutan akan mengalami moodswing yang cukup ekstrim, merasa sakit dan tidak mampu, dan mudah bersedih. Secara mudah hal ini terjadi karena ada fenomena "push and pull" dalam dirinya yang merupakan kompensasi dari oksitosin. Oksitosin ini menjadikannya pull the baby sebagai the central of the world, kemudian push (menekan) the other things semisal hobi, aktivitas fisik, aktivitas spritual, aktivitas intelektual, bahkan menekan kemerdekaan fisiknya untuk sekedar pergi ke kamar mandi sendirian dengan merdeka.
Apakah ini sebuah disease? No, Menurut psyciatrist maupun psikolog. Ini hanya sebuah fase yang normal. Yang menjadikannya menjadi sesuatu yang mengkhawatirkan adalah ketika yang bersangkutan tidak berhasil melewatinya dengan baik. Mental pressure yang hadir pada fase ini perlu dihadapi bersama oleh pasangan yang baru menjadi orang tua. keluarga besar juga memiliki peran yang cukup central dalam mendukung kesehatan mental pasangan melewati fase ini.
Pada kasus teman di atas yang dihadapkan situasi yang tidak ideal: menjadi mahasiswi, suami dinas luar, dan menghadapi ujian tengah semester di depan mata; dia berhasil melewatinya karena ada orang tua dan mertua yang support agar fase ini bisa lewat dengan smooth.
Peran suami dan keluarga besar menjadi sangat penting dalam menghadapi fase ini. Namun, di luar sana banyak orang yang tidak menyadari bahwa fase ini harus dikawal sebagai upaya menjaga kesehatan mental ibu baru. Pada keadaan masih dalam moodswing dan usaha menerima keadaan "normal" baru, banyak ibu baru yang tidak berani speak up tentang masalah yang sedang dihadapinya. Di sisi lain, banyak bapak muda yang menjadi ayah baru juga bingung dalam bagaimana cara mendampingi istrinya melewati fase ini dengan baik. Biasanya karena keadaan ayah muda ini sebagai pekerja perantau dengan waktu kerja padat dan jauh dari keluarga, sehingga waktu mendampingi istrinya juga terbatas. Ditambah jika komunikasi yang terjalin antara pasangan yang cenderung baru ini tidak berjalan dengan baik, fase ini menjadi lebih banyak dihindari untuk dibicarakan.
Pada keadaan demikian, salah seorang teman yang berhasil melewati fase ini menceritakan setidaknya dengan dua cara agar melewati semuanya dengan lembut. Pertama, "mengungsikan" istrinya ke tempat orang tua agar fase transisi ini terlewati dengan baik. Lingkungan rumah menjadikan ibu muda tetap nyaman, pada beberapa hal teknis pengasuhan bayi ibu muda terbantu dengan kehadiran orang tua karena mereka memiliki pengalaman handling baby lebih banyak. Lingkungan ini menjadikan ibu muda yang mengalami fase matrescence lebih mudah untuk normalize keadaan barunya.
Kedua, meminta bantuan orang lain di rumah tanpa harus pulang kampung. Biasanya dengan meminta bantuan orang tua untuk tinggal di tanah rantau sampai batas waktu yang dianggap bahwa ibu muda tersebut sudah mampu dan selesai menerima keadaan barunya. Pilihan lain dengan meminta bantuan nanny.
Setiap transisi menuju sesuatu yang baru memang membutuhkan banyak energi agar bisa normalize keadaan dan menjadi lebih kuat di masa depan. Mari bantu orang-orang terdekat kita menjadi orang yang kuat secara mental dan menghadirkan generasi kuat untuk negeri ini.
Untuk para ibu-ibu muda, jangan ragu untuk menyuarakan keadaan diri. Menyampaikan keadaan diri bahwa sedang "tidak baik baik" saja bukanlah hal buruk yang harus dihindari. Ceritakan pada orang yang tepat tentang "keadaan tidak baik baik saja"nya, jika membutuhkan bantuan ahli datanglah ke psikolog, mereka well-trained dan berotoritas untuk membantu.
Tabik,

Semarang, 02 09 2018
@fahmi.basyaiban
Sumber gambar: cattime.com

0 komentar:

Post a Comment