Friday, February 22, 2019

MATRESCENCE [PART 2]

"Pas mengalami masa itu, gue jadi senggol bacok, mi" demikian salah satu penjelasan dari salah satu rekan saat menjelaskan fase matrescence yang dilewatinya. Dari beberapa orang , responnya beragam tapi kurang lebih punya benang merah yang sama yaitu emosi tidak stabil ketika fase itu dihadapi.

Hal berikutnya yang perlu menjadikan perhatiankhusus adalah peran laki-laki atau suami yang mendampingi istrinya menghadapi matrescence paska melahirkan. Beberapa orang memberi masukan pada tulisan sebelumnya "peran suaminya dimasukkan. Di tulisan pertama seolah menyampaikan pesan 'diungsikan saja ke rumah orang tua', ". Jadilah ide untuk memperpanjang tulisan ke part dua. 
Bagian kedua ini hanya opini dari beberapa orang yang saya mintai informasi tentang kondisinya saat mendampingi pasangannya melewati matrescence. Karena sampelnya kecil jadi tidak bisa untuk digeneralisir lebih luas.

Kelahiran anak pertama menjadi bagian yang mengharukan sekaligus membahagiakan bagi pasangan baru. Ekspresi kebahagiaan ini biasanya disalurkan melalui posting gambar ekspresi kebahagiaan pasangan beserta bayinya ke media sosial. Terlihat bahagia dan sempurna, tapi dibalik senyum mengembang dan lucunya bayi yang berumur beberapa hari tersimpan drama yang harus dihadapi pasangan baru ini.

Peran yang bisa diambil suami begitu penting dalam membantu istrinya melewati fase matrescence kurang lebih sebagai berikut.

Pertama. Menurunkan ego, tidak bisa dipungkiri ego laki laki itu tinggi untuk dianggap selalu benar, selalu dituruti, dan pendapatnya harus selalu didengar dan dianggap benar tanpa tanggapan serta sanggahan. Terlebih dia menempati posisi tertinggi di "negara kecil" di rumah tangganya. Pada kondisi matrescence, istri akan lebih sering kehilangan kendali atas emosinya dan tak jarang akan melakukan ujaran atau satu hal yang dianggap menjatuhkan ego pasangannya sebagai lelaki dan sebagai pemimpin tertinggi "negara kecil".

Menyadari bahwa pasangan sedang butuh pendampingan dan menyadari bahwa keberhasilan melewati masa ini akan menguatkan ketahanan rumah tangga di masa depan. Laki-laki harus menanamkan kuat pandangan "untuk sebuah kebermanfaatan di masa depan, melepaskan ego untuk sesuatu yang positif dan besar itu tidak jadi soal. Untuk sementara ego disimpan terlebih dahulu".
Kedua. Memperbesar kesabaran. "Gue kalau di rumah diem aja, mi. Apa-apa dikomen istri mulu. Istirahat tidur bentar dimarahin, ditinggal makan bentar dimarahin. Untuk kemaslahatan bersama gue memilih diem", ungkap salah satu rekan kerja yang istrinya baru melahirkan tiga minggu yang lalu. Dia menyadari bahwa hormon oksitosin berperan besar dalam moodswing istrinya, maka dia lebih memilih untuk bersabar dalam menghadapi istrinya yang mengkompensasikan moodnya dengan marah. Lain lagi rekan kedua, kompensasi mood istrinya adalah dengan menangis dan murung. Dia sampai bingung harus bersikap bagaimana. Dalam kondisi demikian kesabaran dan seberapa "ma'rifat" suami terhadap sifat dan karakter istri menentukan peran penting. Misal pada istri introvert yang mengkompensasikan moodnya dengan menyendiri dengan "me time", suami bisa mengambil alih sementara perawatan bayi dan memberikan waktu "me time" pada istri sampai kondisi moodnya lebih baik. Jika istri ekstrovert, berikan "me time" istri untuk memperbaiki moodnya, biasanya orang ekstrovert mengkompensasikannya dengan ngobrol.


Ketiga, Dukung ketahanan mentalnya dari para "lambe turah". "Lambe turah" yang menganggap diri paling benar dan paling tahu bisa menjadi hal buruk bagi ketahanan mental istri yang sedang mengalami fase Matrescence. Parahnya lambe turah ini bisa muncul di mana saja, bahkan keluarga terdekat. Emang ada? Buanyak. Rekan saya mengalami tekanan psikis cukup kuat karena yang jadi lambe turah adalah keluarga sendiri dengan mengatakan padanya, "Gitu aja cengeng, jadi wanita harus kuat. Itu si A aja sendirian ngurus anak dan suami di Kalimantan bisa". Percayalah, pada kondisi normal saja kalimat itu bermuatan savage level tinggi yang bisa menohok perasaan seseorang di ulu hatinya, apalagi dalam keadaan moodswing di masa matrescence. Terus gimana? Sebelum kejadian lambe turah terjadi, jadilah orang yang tega untuk menegur dan sedikit kejam pada kemungkinan yang ada, bahkan sama keluarga dekat sendiri. Rakyat yang paling penting di "negara kecil" perlu dilindungi kebahagiannya.
Mungkin itu saja yang bisa saya sarikan dari banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengambil peran sebagai partner yang baik dalam masa matrescence pasangannya. Satu hal lagi, suami juga harus sadar diri dan sadar kapasitas. Ga semua drama ini bisa dihadapi sendiri, ga semua orang well trained untuk melakukan tindakan lebih. Jangan ragu untuk bilang tidak tahu dan butuh bantuan dari psikolog, mengakui hal itu tidak membuatmu menjadi hina di hadapan istri, malah akan dianggap lebih pengertian dan nambah level hormatnya padamu di masa depan. 
Semoga Allah berkahi para bapak dan ayah muda yang sanggup menurunkan ego dan membesarkan kesabarannya demi kemakmuran dan kebahagiaan "negara kecilnya". Tabik,
Semarang, 16 09 18
@fahmi.basyaiban

0 komentar:

Post a Comment