Friday, February 22, 2019

MENCARI EMPATI DALAM PERJALANAN

 "Melakukan perjalanan, sejatinya adalah perjalanan menemukan diri sendiri"

Sebagai orang yang terwarnai sedikit budaya Jepang, dalam melakukan perjalanan biasanya saya membuat itinerary detil jam ke jam dalam sebuah perjalanan, jam segini ngapain, di mana, berkendara dengan apa, menginap di mana, makan di mana, tempat mana saja yang dikunjungi, dan barang apa saja yang dibawa. Dengan perjalanan model seperti itu sulit rasanya dapat menemukan perjalanan yang berkesan dalam "menemukan diri sendiri". Pada kesempatan lalu, saya mengubah pola traveling menjadi lebih sederhana dan menantang. Jalan ke sebuah kota hanya bermodal tiket pulang pergi, menghindari memesan tempat menginap dari awal perjalanan, menghindari penggunaan transportasi umum dalam kota, dan mobilitas dalam kota hanya mengandalkan jalan kaki. Dalam perjalanan ini lebih banyak melakukan jalan kaki, melihat, dan berinteraksi dengan masyarakat yang ditemui. 
Sampailah saya di kota Solo jam satu dini hari sendirian menggunakan kereta. Bermodal mantep nekat mendatangi beberapa penginapan selama satu jam ditemani gerimis kecil malam hari. Hasilnya nihil, semuanya penginapan murah dan menengah penuh dengan tamu karena memang sedang peak season. Sepanjang perjalanan di sekitar Stasiun Balapan dan Pasar Legi, saya bertemu dengan banyak tukang becak, buruh kasar, dan orang yang tak punya rumah itu tidur di pinggir jalan, di becaknya, di emperan toko; dengan keadaan seadanya: alas kardus dan selimut kain tipis yang tetap tak menghalau dingin. 
Melihat itu hati saya terketuk untuk merasakan hal yang sama, untuk sebuah tujuan sederhana: menumbuhkan empati, mencoba melihat bagaimana cara berpikir mereka, dan merasakan dari dekat kehidupan mereka. Mengingat mereka sering dapat stigma jelek: "pantas aja miskin terus, malas sih.. Ga mau kerja" atau kalimat sejenisnya.

Hasilnya? Tidak mudah menjadi mereka. Mereka bukan orang yang malas, mereka bekerja keras dengan cara yg mereka bisa, hanya saja mereka hanya punya skill terbatas. Sedangkan hampir semua program yang ditujukan mereka kebanyakan fokus pada pemberian bantuan langsung. Jarang ada yang mau sabar memberi skill tambahan untuk mereka karena penyalur program tidak mau repot atau sudah terlanjur memberi stigma "malas" pada mereka.
Beneran? Ya, mereka bukan pemalas, misal tukang becak; mereka mau jauh dari keluarganya dan hidup di jalan, ngejar penumpang yang datang dinihari di stasiun dengan ketidakpastian ada yang mau pakai becak.
Contoh lainnya pedagang kecil yg gelar dagangannya di trotoar jalan di jam 3 dini hari. Silakan kalkulasi jam berapa mereka siap siap dari rumah, mengemasi barang untuk dibawa ke pasar?, kapan mereka tidur?, berapa jam mereka tidur sehari?, kapan ngurus keluarga?.
Mereka hanya tidur 2-3 jam dalam sehari, sisanya mengerjakan semua yang bisa mereka usahakan.
Mendengar dan merasakan kehidupan masyarakat kecil seperti ini sehat untuk kepekaan hati dan empati yang pada ujungnya adalah kehati-hatian melemparkan ujaran atau bisa menyaring banyak ujaran dan mencoba mencari perspektif lain dalam berpendapat. Satu sisi yang lain, akan melahirkan sikap jelas, pihak mana yang harus dibela atas nama mewujudkan keadilan.. Ada saatnya mereka dibela dan diperjuangkan haknya sebagai warga negara bukan sebagai komoditas politik.
Kalau tidak bisa sampai sejauh itu, minimal membangkitkan rasa syukur dan berbagi. Sekali waktu belanjalah di tempat mereka, atau menggunakan jasa mereka sekali waktu.. Kecil tapi itu berpengaruh besar pada hidup mereka.
Tabik,
Semarang, 01 01 2019
@fahmi.basyaiban

0 komentar:

Post a Comment